Foto: Pati Herin |
Pria yang disamping
kiri saya ini bernama Yance, eks Nahkoda KM Cahaya Rahmat, kapal kayu yang
hingga kini melayani pelayaran antar pulau di Kabupaten Flores Timur dan
Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ketika saya menemuinya pada
akhir Juni lalu, ia sudah pindah bekerja di darat pada salah satu usaha dagang
di Waiwerang, Pulau Adonara, Flores Timur.
Ia kebingungan ketika
saya menyapanya dengan begitu akrab seolah kami kerap bertemu. Saya berjalan
mendekat dan mengajaknya bersalaman. Ia kian bingung, hingga berujar, "Ini
siapa?". Saya menjawab, "Bapa pernah bantu saya ketika terlambat feri
di Lembata". "O...iya," sambungnya dengan senyum lebar.
Kisah perjalanan
dengan KM Cahaya Rahmat pada akhir Oktober 2012 dari Waiwerang menuju Lewoleba
di Pulau Lembata, Kabupaten Lembata, memang sulit dilupakan. Perjalanan kala
itu turut menentukan masa depan saya, terutama karir saya yang ketika itu baru
saja diterima menjadi Calon Wartawan Harian Kompas.
Saya meninggalkan
kampung halaman di Desa Pandai, Kecamatan Wotan Ulumado, menuju Kupang, untuk
selanjutnya berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan Kompas. Desa saya terletak
di pesisir sekitar 9 kilometer sebelah barat Waiwerang.
Lepas tali dari
pelabuhan, kapal dengan bobot mati lebih kurang 85 gros ton itu mulai membela
Selat Solor sekitar pukul 14.30 WITA. Kapal melaju ke arah timur dengan
kecepatan sekitar 17 knot (31,48 kilometer per jam) itu diperkirakan tiba
paling lambat pukul 16.00 di Pelabuhan Lewoleba.
Waktu tiba itu
sekitar 1 jam sebelum jadwal keberangkatan KMP Ile Boleng dari Pelabuhan Wai
Jarang menuju Pelabuhan Tenau Kupang. Dengan waktu tempuh antara Pelabuhan
Lewoleba dengan Pelabuhan Wai Jarang sekitar 30 menit, itu praktis cukup buat
saya sebab masih tersisa 30 menit untuk menyiapkan keberangkatan dengan KMP Ile
Boleng.
Perhitungan waktu
semacam itu sudah menjadi rumus baku bagi kami warga Adonara yang bepergian ke
Kupang dengan memilih rute itu. Namun, rumus baku perjalanan dengan hitungan
waktu lazimnya itu berubah seketika. Informasi yang saya dapat dari salah satu
anak buah KMP Ile Boleng (maaf saya lupa namanya), kapal berangkat lebih cepat
45 menit. Artinya, saya sudah terlambat sehingga tidak mungkin lagi melewati
rute biasanya.
Satu-satunya cara
ialah meminta nahkoda KM Cahaya Rahmat untuk "melanggar aturan"
dengan merapatkan kapal tersebut ke KMP Ile Boleng.
Dengan modal nekat
saya masuk ke ruang kapten di dek dua untuk menemui Yance dan menyampaikan
maksud tersebut. "Tidak bisa ade (adik), kami akan dapat sanksi dari syahbandar
kalau merapat ke pelabuhan feri," kata Yance ketika itu. Setelah mendengar
alasan bahwa besoknya saya sudah harus ke Jakarta karena ada urusan penting,
Yance berpikir sejenak dan memutar kemudi ke kanan.
Ia memerintahkan para
awak untuk merapatkan KM Cahaya Rahmat ke KMP Ile Boleng. Setelah merapat, para
awak memindahkan bagasi saya melalui jendela kapal feri, saya pun meloncat
melalui jendela yang sama. Drama menegangkan itu berlangsung hanya sekitar 2
menit.
Keputusan Yance
tersebut sangat berisiko. Ia tidak takut bakal menanggung risiko berupa sanksi
dari sayhbandar. Tidak ada nomor kontak yang bisa dihubungi sehingga saya belum
sempat menanyakan ada atau tidak konsekuensi atas keputusan Yance itu. Saya
meresa berhutang budi padanya.
Saat menemuinya
kembali, saya merasa bahwa ucapan terima kasih hingga menyebutnya "sang
penyelemat" pun serasa tidak bisa mengimbangi kebaikannya. Belum tentu
saya bekerja di Kompas jika saat itu ia tidak membantu saya.
"Kerja bae-bae
(dengan baik) ya ade," ucapnya dengan wajah berseri. Terima kasih Om
Yance. Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kebaikanmu. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar