Jumat, 26 Juni 2015

Kisah Penyelamatan Om Yance, KM Cahaya Rahmat

Foto: Pati Herin
Pria yang disamping kiri saya ini bernama Yance, eks Nahkoda KM Cahaya Rahmat, kapal kayu yang hingga kini melayani pelayaran antar pulau di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ketika saya menemuinya pada akhir Juni lalu, ia sudah pindah bekerja di darat pada salah satu usaha dagang di Waiwerang, Pulau Adonara, Flores Timur.
Ia kebingungan ketika saya menyapanya dengan begitu akrab seolah kami kerap bertemu. Saya berjalan mendekat dan mengajaknya bersalaman. Ia kian bingung, hingga berujar, "Ini siapa?". Saya menjawab, "Bapa pernah bantu saya ketika terlambat feri di Lembata". "O...iya," sambungnya dengan senyum lebar.
Kisah perjalanan dengan KM Cahaya Rahmat pada akhir Oktober 2012 dari Waiwerang menuju Lewoleba di Pulau Lembata, Kabupaten Lembata, memang sulit dilupakan. Perjalanan kala itu turut menentukan masa depan saya, terutama karir saya yang ketika itu baru saja diterima menjadi Calon Wartawan Harian Kompas.
Saya meninggalkan kampung halaman di Desa Pandai, Kecamatan Wotan Ulumado, menuju Kupang, untuk selanjutnya berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan Kompas. Desa saya terletak di pesisir sekitar 9 kilometer sebelah barat Waiwerang.
Lepas tali dari pelabuhan, kapal dengan bobot mati lebih kurang 85 gros ton itu mulai membela Selat Solor sekitar pukul 14.30 WITA. Kapal melaju ke arah timur dengan kecepatan sekitar 17 knot (31,48 kilometer per jam) itu diperkirakan tiba paling lambat pukul 16.00 di Pelabuhan Lewoleba.
Waktu tiba itu sekitar 1 jam sebelum jadwal keberangkatan KMP Ile Boleng dari Pelabuhan Wai Jarang menuju Pelabuhan Tenau Kupang. Dengan waktu tempuh antara Pelabuhan Lewoleba dengan Pelabuhan Wai Jarang sekitar 30 menit, itu praktis cukup buat saya sebab masih tersisa 30 menit untuk menyiapkan keberangkatan dengan KMP Ile Boleng.
Perhitungan waktu semacam itu sudah menjadi rumus baku bagi kami warga Adonara yang bepergian ke Kupang dengan memilih rute itu. Namun, rumus baku perjalanan dengan hitungan waktu lazimnya itu berubah seketika. Informasi yang saya dapat dari salah satu anak buah KMP Ile Boleng (maaf saya lupa namanya), kapal berangkat lebih cepat 45 menit. Artinya, saya sudah terlambat sehingga tidak mungkin lagi melewati rute biasanya.
Satu-satunya cara ialah meminta nahkoda KM Cahaya Rahmat untuk "melanggar aturan" dengan merapatkan kapal tersebut ke KMP Ile Boleng.
Dengan modal nekat saya masuk ke ruang kapten di dek dua untuk menemui Yance dan menyampaikan maksud tersebut. "Tidak bisa ade (adik), kami akan dapat sanksi dari syahbandar kalau merapat ke pelabuhan feri," kata Yance ketika itu. Setelah mendengar alasan bahwa besoknya saya sudah harus ke Jakarta karena ada urusan penting, Yance berpikir sejenak dan memutar kemudi ke kanan.
Ia memerintahkan para awak untuk merapatkan KM Cahaya Rahmat ke KMP Ile Boleng. Setelah merapat, para awak memindahkan bagasi saya melalui jendela kapal feri, saya pun meloncat melalui jendela yang sama. Drama menegangkan itu berlangsung hanya sekitar 2 menit.
Keputusan Yance tersebut sangat berisiko. Ia tidak takut bakal menanggung risiko berupa sanksi dari sayhbandar. Tidak ada nomor kontak yang bisa dihubungi sehingga saya belum sempat menanyakan ada atau tidak konsekuensi atas keputusan Yance itu. Saya meresa berhutang budi padanya.
Saat menemuinya kembali, saya merasa bahwa ucapan terima kasih hingga menyebutnya "sang penyelemat" pun serasa tidak bisa mengimbangi kebaikannya. Belum tentu saya bekerja di Kompas jika saat itu ia tidak membantu saya.

"Kerja bae-bae (dengan baik) ya ade," ucapnya dengan wajah berseri. Terima kasih Om Yance. Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kebaikanmu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar